Secara
administratif Nagari Silungkang berada di Kecamatan Silungkang. Nagari
ini merupakan gerbang menuju kota Sawahlunto. Sebuah kota di Sumatera
Barat yang dikenal karena penghasil batubara sejak kolonial Belanda.
Secara geografis nagari Silungkang terletak pada bentangan gugusan Bukit
Barisan. Nagari Silungkang sendiri berada di sebuah lembah atau
cekungan yang tidaklah begitu luas. Dengan ketinggian rata-rata 239-450
meter di atas permukaan laut. Daerah itu juga dikelilingi bukit-bukit
batu yang cukup terjal dan tandus. Kondisi geografis yang tidak
mendukung ekonomi pertanian tentunya. Hal ini menyebabkan masyarakat
Silungkang lebih aktif mengembangkan ekonomi perdagangan dan industri.
Terutama industri rumahtangga yang lebih fokus pada usaha tenun. Hampir
setiap rumah tangga terdapat alat tenun.
Ditengah
kehidupan masyarakat industri tenun dan pedagang ini berkembang
berbagai tradisi, seni dan budaya. Salah satunya adalah marunguih atau
dalam bahasa kesehariannya di Silungkang disebut dengan Ratok Silungkang
Tuo. Tidak dapat dipastikan siapa pencipta tradisi ini. Namun marunguih
sudah ada sejak lama dan berkembang ditengah masyarakat Silungkang
dengan segala dinamikanya.
Maratok-i Inyiak, Harimau Jadi-jadian: Asal Mula Tradisi Marunguih
Pak Umar Malin Parmato seorang seniman talempong batuang yang saat ini masih dapat melakukan tradisi & seni marunguih kadangkala diiringi musik talempong batuang |
.
Umar
Malin Parmato 78 tahun satu-satunya saat ini yang bisa melakukan
marunguih tepatnya di Sungai Cocang Silungkang Oso memaparkan.
Permintaan dan do’a orang yang mendapat azab kubur itu untuk embali ke
dunia didengar dan dikabulkan Tuhan. Ia pun dikembalikan ke dunia. Namun
wujudnya sayang tidak lagi utuh menyerupai manusia. Tapi persis berupa
binatang harimau. Sebagai harimau jadi-jadian. Binatang satu ini cukup
pintar dan mengerti segala tingkahlaku manusia. Bahkan bahasa manusia
pun ia mengerti. Dan yang lebih mengagumkan adalah kemampuannya dalam
beladiri silat. Silat harimau bila disebut. Oleh karena asal usulnya
manusia dan memiliki kemampuan lebih dari binatang lainnya. Maka ia
disebut atau dipanggil juga dengan inyiak. Sebuah panggilan penghormatan
tentunya.
Keinginan
inyiak untuk menjadi orang yang taat dan patuh akan ajaran Tuhan
sepertinya tersandung dengan wujudnya yang tidak mungkin hadir ditengah
masyarakat. Ia kini sudah diantara dua makhluk manusia dan binatang.
Satu sisi inyiak memiliki naluri manusia dan sisi lain adanya sifat
binatang yang disertai wujud fisiknya. Naluri kemanusiaan binatang
jadia-jadian yang dihormati masyarakat ini kadang tampak dengan jelas
ketika ada misalnya penduduk yang tersesat dalam rimba. Ketika itu
biasanya harimau ini akan memberikan bimbingan jalan keluar dengan
isyarat dengan bunyi-bunyian seperti atau mematahkan ranting kayu juga
dengan jejak dan isyarat lainnya sehingga hati orang yang tersesat itu
tergerak mengikuti sebuah arah. Begitu dihormatinya binatang harimau
ini, sampai-sampai ketika bertemu jejaknya saja dihutan atau ladang
penduduk, seseorang secara spontan akan meminta izin untuk memasuki dan
melintasi didaerah tersebut.
Namun
demikian, sifat binatangnya juga tidak dapat ia tinggalkan. Hal ini
terlihat ketika bagaimana ia mendatangi kandang ternak atau menganggu
ternak penduduk dan memakannya. Perilaku harimau seperti itu apalagi
berulang-ulang dan merugikan juga menakut-nakuti masyarakat perlu
diambil tindakan. Jika keadaan semakin merisaukan, penduduk
memberlakukan apa yang terkandung dalam pepatah “salah ditimbang, utang
dibaia” (salah diadili, utang dibayar).
Suatu
ketika setelah melakukan berbagai pertimbangan. Penduduk bersepakat
untuk menangkap dan memperangkap harimau/inyiak yang merisaukan itu
dengan jerat yang terbuat dari besi. Rencana itu pun dijalankan. Hari,
lokasi ditentukan perangkap besi kemudian dipasang. Usaha penduduk untuk
menghukum harimau jadi-jadian yang dihormati itu berhasil. Inyiak,
harimau yang dihormati itu terjepit perangkap. Ia pun meraung-raung
kesakitan. Penduduk kemudian mendatang lokasi dan membawa inyiak pulang.
Inyiak, si harimau jadi-jadian diarak beramai dengan iringan musik
talempong, saluang dan gendang tasa.
Harimau
jadian-jadian yang meresahkan itu hendak diadili ia akan ditembak mati
dengan sebuah bedil tradisional. “salah ditimbang, utang dibaia” (salah
diadili, utang dibayar). Pengadilan masyarakat terhadap harimau yang
diyakini manusia pada mulanya ini dilakukan dalam sebuah upacara.
Meskipun ia melakukan kesalahan namun pengadilan tetap dilakukan dengan
penuh penghormatan.
Seseorang
akan dimemimpin jalannya prosesi. Ia akan berkata-kata kepada inyiak
sang harimau jadi-jadian. Kira-kira yang disampaikan seperti ini:
“nyiak....
kalau salah, yo batimbang (kalau salah, ya ditimbang)
Kalau utang, yo dibaia (kalau utang, ya dibayar)
Sebelum
eksekusi penembakan berlangsung berbagai pantun yang berisikan
permintaan izin dan maaf disampaikan pada inyiak yang dianggap mengerti
akan bahasa manusia. setelah prosesi penghormatan, inyiak pun ditembak
mati dan dikuburkan.
Itu
semua belum cukup dan belum selesai. Inyak yang telah mati itu masih
mendapat penghormatan penduduk. Penduduk akan melakukan marunguih untuk
inyiak yang sudah jadi bangkai dan terkubur itu. Marunguih atau
maratok-i (meratapi) inyiak mesti dilakukan. Kalau tidak, penduduk akan
mendapat musibah dan bala. Marunguih mesti dilakukan agar musibah itu
tidak datang mendera penduduk dan kampung. Marunguih dilakukan seseorang
dalam kain sarung di dekat kuburan harimau jadi-jadian tersebut pada
malam hari. Segala cerita dalam pesan marunguih disampaikan dalam bentuk
pantun-pantun yang didendangkan dalam irama-irama tertentu.
Peristiwa
inilah yang disinyalir sebagai akar tradisi marunguih. Ditekankan bapak
Umar Malin Parmato, marunguih merupakan bagian prosesi penangkapan,
pembunuhan hingga pemakaman harimau jadi-jadian yang disebut inyiak dan
hanya dilakukan dimana harimau yang dibunuh itu dikubur.
Marunguih: Ratok Silungkang Tuo, Ratok Patolong Namo Hingga Kesenian dan Hiburan.
Marunguih
dari uraian diatas sudah dijelaskan sebagai bagian upacara penting
untuk penghormatan kepada harimau jadian-jadian yang telah dihukum mati
penduduk karena kesalahannya. Namum demikian dalam perjalanannya
pola-pola marunguih berkembang dan menjalar ke beberapa tradisi pada
masyarakat Silungkang.
Marunguih
kemudian berkembang menjadi media penyampaian sebuah keadaan atau
situasi yang dihadapi seseorang. Biasanya yang disampaikan itu adalah
seputar berbagai pengalaman hidup seseorang, keluarga atau kaum. Keadaan
itu tentu beragam, seperti keadaan sedih, kegagalan, kepedihan,
tertekan, kesuksesan, percintaan bahkan kemalangan atau duka lara.
Menariknya, apa yang disampaikan itu dilakukan dalam sebuah sarung
ditempat-tempat yang dianggap dapat mewakili apa yang sedang dirasakan
dan disampaikan itu. Kadangkala orang yang sedang marunguih pergi dan
memilih tempat dirumah-rumah tua yang sudah tidak berpenghuni atau di
dalam dan belakang rumah dan tempat-tempat yang mereka anggap pas untuk
dapat dilaksanakan dengan penuh arti.
Marunguih
dengan konotasi Ratok Silungkang Tuo akan semakin terasa ketika pesan
atau isi ratok (ratapan) yang diungkapkan menyangkut hal-hal yang
menyedihkan seperti bagaimana seseorang mengalami kegagalan, kemalangan,
kematian misalnya. Marunguih dalam suasana kematian sama sekali tidak
dilakukan bersembunyi dalam sarung karena keadaan duka marunguih
benar-benar terjadi dalam wujud ratok (ratapan). Sehingga marunguih
berupa ratok dalam suasana terbuka. Biasanya segala proses dan
pengalaman yang dilalui akan diungkapkan. Adakalanya keluarga meminta
bantuan sanak keluarga agar ikut serta atau mengagantikan karena ia
tidak mampu maratok (meratap). Keadaan seperti ini dikenal dengan ratok
patolong namo (dibantu/membantu meratap).
Seseorang
atau keluarga yang ingin marunguih dalam bentuk lainnya, tapi tidak
punya kemampuan untuk mendendangkannya, malah tidak segan memanggil dan
menyewa orang yang bisa melakukannya. Sedangkan ia hanya menyampaikan
kepada si tukang marunguih point-poin yang hendak ia sampaikan. Nanti si
tukang marungihlah yang akan mendendangkannya. Kadangkala orang yang
yang mendengarkan apa yang dituturkan tukang marunguih terbawa suasana.
Ketika cerita atau pesan yang disampaikan berbau kesedihan dan duka lara
tidak heran kalau orang yang mendengarkan ikut sedih berurai air mata.
Apabila diantaranya ada yang tahu bagian dari rentetan cerita atau kisah
yang sedang dituturkan itu malah ada yang ikut menyambung. Sehingga
marunguih yang tadinya dimulai dari satu orang akan saling sambung
menyambung dan bersahutan dari satu orang ke orang lain. Suasana ramai
dan riuh pun tentu membuat suasana bertambah mengaharu biru.
Dalam
perkembangannya, marunguih tidak melulu penuh dengan hal berbau ratok
(ratapan). Marunguih juga berkembang sebagai sebuah kesenian dan hiburan
yang dipertontonkan. Dengan kata lain marunguih disini menjadi sebuah
seni pertunjukan. Sebagai sebuah seni pertunjukan, marunguih diiringi
dengan alat musik tradisonal Silungkang berupa talempong bambu, saluang
dan gendang tasa. Sebagai sebuah kesenian yang bersifat menghibur, si
tukang marunguih tentu menyesuaikan pesan dan cerita yang disampaikan
kepada khalayak. Biasanya apa-apa yang dituturkan lebih pada kisah
kesuksesan, kebahagiaan dan kisah heroik yang kadangkala diselingi canda
gurau. Sehingga masyarakat bisa menikmati kesenian ini dan mengambil
hikmah dari pesan-pesan yang terkandung sepanjang apa yang dituturkan
oleh orang yang sedang marunguih tadi. Seseorang yang membawakan
kesenian ini tidak melulu berkisah tentang kisah hidupnya sendiri, akan
tetapi juga marungih-kan kisah hidup orang lain. Apalagi kalau diminta
seseorang. Seseorang yang ingin kisah hidupnya ditampilkan pada kesenian
marunguih ini terlebih dahulu berkonsultasi dan menceritakan kisah
hidupnya kepada si tukang marunguih.
Sebagai
sebuah tradisi yang berkembang menjadi sebuah kesenian dan hiburan
rakyat ini disinyalir mencapai puncak keemasannya ditengah masyarakat
pendukungnya di nagari Silungkang hingga tahun 1925. Pada masa-masa itu
marunguih sebagai tradisi dan kesenian hampir setiap saat dapat
dijumpai. Menjelang revolusi kemerdekaan tradisi marunguih cukup eksis.
Kemudian pada tahun-tahun berikutnya tradisi dan kesenian ini mulai
meredup dan hilang ditengah masyarakat. Pada saat sekarang sudah sangat
sulit untuk menemukan orang yang bisa dan mau marunguih.Banyak faktor
tentunya yang menyebabkan tradisi dan kesenian ini tidak mampu bertahan
ditengah masyarakatnya. Penyebab utama tentu berkenaan dengan internal
masyarakat pendukungnya sendiri.
Keadaan
melemahnya eksistensi tradisi dan kesenian marunguih tentu tidaklah
diharapkan. Untuk membangkitnya tentu diperlukan terobosan dan format
yang tepat sehingga marunguih sebagai tradisi dan kesenian tetap
terjaga. Apalagi bagi kota Sawahlunto dengan brand image Kota Wisata
Tambang Nan Berbudaya. Kekayaan seni-budaya tentu menjadi bagian
penopang kepariwisataan kota ini. Bahkan dalam kaca mata penulis sebagai
tradisi dan kesenian, marunguih tidak melulu bertutur kisah seseorang
atau orang lain. Namun juga dapat menyampaikan cerita dan kisah
bermuatan moral dan kebijaksanaan. Bila disimak lebih jauh marunguih
adalah juga sebagai media atau alat penyampaian yang perannnya dapat
disandingkan dengan media-media lain. Katakanlah media audio-visual,
televisi, radio dan media cetak koran, majalah, buku dan sejenisnya.
Bukankah pada prinsipnya media-media itu sebagai media komunikasi untuk
menyampaikan atau memberitakan sesuatu.
Coba
kita amati sebuah fenomena pilkada, pileg dan pildes atau pemilihan
walinagai tentu yang lebih dekat dengan geografis tradisi dan kesenian
ini. Seperti kita saksikan, ajang pesta demokrasi lokal itu memanfaatkan
berbagai media untuk mengkampanyekan diri dan jagoan masing-masing.
Radio, televisi media cetak koran, majalah lifleat dan brosur memuat
berbagai berita tentang sang calon dengan berbagai cerita kesuksesan dan
prestasi. Sebenarnya peran itupun dapat diambil dan dilakukan dengan
tradisi dan kesenian marunguih. Dengan itu kampanye jalan ditengah
masyarakat dan kesenian marunguih tetap hidup dan terjaga ditengah
masyarakat. Begitu pula peran mencitrakan dalam upaya mempromosikan
Sawahlunto sebagai Kota Wisata Tambang Nan Berbudaya. Marunguih dalam
hal ini tentu sedikit mengalami modifikasi.
Kami
bukan hendak mengatakan marunguih dijadikan alat politik dan promosi.
Tapi dalam pikiran kami setidak-tidaknya itulah moment dan salah satu
jalan untuk mempertahankan dan kembali menghidupkan tradisi dan kesenian
ini. Bagaimana lebih jauhnya tentu ini menjadi pemikiran dan pekerjaan
bersama kita, terutama para pemerhati, pelaku serta lembaga-lembaga
kesenian dan kebudayaan. Peran dan dorongan pemerintah kota Sawahlunto
melalui lembaga terkait tentu lebih diharapkan. Agar kebudayaan apalagi
yang berakar akan tradisi lokal dengan melalui proses ditengah
masyarakat tetap bertahan dan hidup ditengah arus globalisasi kehidupan
yang pada prinsipnya tidak meminggirkan hal-hal seperti ini. Kearifan
dan kebijaksanaan kita ditunggu untuk membankitkan potensi-potensi
terpendam bagi khazanah kebudayaan khususnya tradisi dan kesenian lokal
yang akan menjadi warna-warni kehidupan hari ini dan akan datang.
Oleh: Yonni Saputra, SS
2 Responses So Far:
Mantap mas... semoga adat tradisional tetap digalakkan oleh indonesia....
terima kasih support nya kang onk
Posting Komentar