Musik
Khas Indonesia
oleh : Angku Lareh
Seni Musik merupakan
salah satu bentuk kesenian yang hampir dimiliki oleh setiap kebudayaan di
dunia. Dengan beragam bentuk dan kekhasannya menjadikan musik sebagai identitas
bagi suatu kebudayaan. Corak musik yang dimiliki oleh suatu kebudayaan tentunya
berbeda dengan musik yang dimiliki kebudayaan lain. Apakah itu dari segi alat
musik ataupun irama langgam lagu yang dimainkan. Pada masa sekarang musik telah
menjadi bahasa yang mendunia (universal). Beberapa orang sangat menikmati
alunan musik dan lagu dari suatu daerah tertentu, walaupun mereka tidak dapat
memahami bahasa yang digunakan oleh si penyanyi.
Indonesia memiliki
kekayaan dalam segi suku dan budaya. Dari keragaman budaya ini, patut kiranya
kita ambil contoh musik sebagai salah satu bentuk dari keragaman budaya. Tentunya
yang kami maksudkan disini ialah musik etnik bukan musik pop. Dalam hal ini
kami akan mengambil contoh yang lebih kecil yaitu musik keroncong. Musik ini
sangatlah unik karena tidak mencerminkan budaya dari salah satu daerah di
Indonesia. Melainkan sebagai bukti dari percampuran dari beberapa budaya yang
kemudian melahirkan musik yang khas Indonesia.
Lazimnya di Indonesia,
sejarah selalu menuai perdebatan, begitu pulalah kiranya dengan Sejarah Musik
Keroncong di Indonesia. Dalam tulisan ini akan dikemukakan salah satu versi
dari sejarah kelahiran musik Keroncong. Di akhir tulisan akan coba kami bahas
perihal Musik Keroncong di Kota Sawahlunto Sumatera Barat.
Musik
Tuan & Para Budak
Portugis merupakan salah
satu dari negara-negara Eropa yang merintis perjalanan ke Timur. Pada tahun
1512 di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque Bangsa Portugis mulai
menginjakkan kakinya di nusantara. Tujuannya ialah Sumber Daya Alam yang sangat
dibutuhkan oleh orang-orang di Eropa ketika itu, yakni rempah-rempah. Alfonso mengomandani beberapa orang pelaut dan para
budak. Para budak di dapat dari daerah kekuasaan Portugis di India yakni Gowa,
Malabar, dan Benggali.[1]
Setelah kejatuhan
Malaka ke tangan Portugis maka berdiamlah di sana Bangsa Portugis beserta para
budaknya tersebut. Para budak tersebut tidak hanya berasal dari India saja,
karena semenjak kedatangan Portugis ke Ambon mereka juga membawa budak dari
sana. Di Ambo-Maluku, Portugis sempat mengobarkan perang dengan Kerajaan
Ternate dan Tidore. Hasil dari peperangan tersebut ialah Portugis terusir dari
Maluku.
Malaka yang dikuasai
Portugis menjadi benteng utama dalam menghadapi Kaum Moor[2] yang
juga terdapat di kepulauan ini. Selain untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah
tentunya. Bandar
terbesar di Nusantara ini jatuh ke tangan
Portugis pada tahun 1511, setahun lebih awal dari kedatangan mereka ke
Indonesia. Di Malaka Portugis
sempat membina kehidupan, beberapa peninggalan Bangsa Portugis masih dapat kita
saksikan di kota itu hingga kini. Kemungkinan di Malaka inilah seni tradisional
rakyat Portugis yang bernama fado tersebar
kepada para budak.
Fado merupakan seni tradisional rakyat Portugis. Akar dari kata
Fado merujuk ke bahasa Latin: fatum,
dapat kita padankan dengan kata fate
dalam Bahasa Inggris yang artinya ialah nasib.
Karakteristik musik ini ialah irama dan syairnya yang sentimental-melankolis.
Menceritakan mengenai lautan, kehidupan masyarakat miskin, ataupun
persahabatan. Sebagian ahli berpendapat bahwa musik ini memiliki akar pada peradaban
Bangsa Moor di Semenanjung Iberia[3]
pada masa silam.
Keadaan
yang jauh dari kampung halaman bagi pelaut Portugis dan nasib sebagai budak
yang ditahan oleh bangsa asing di negeri asing oleh para budak, telah membuka dan
berkembangnya masuknya musik fado yang sentimental-melankolis. Pada
perkembangannya musik ini tidak hanya dimainkan oleh Bangsa Portugis akan
tetapi juga oleh para budak mereka dari Benggali, Malabar, Goa dan Maluku.
Pada tahun
1648 Belanda merebut Malaka dari Portugis. Banyak tawanan perang yang ditawan
beserta para budak mereka dibawa ke Batavia yang pada masa itu merupakan pusat
kekuasaan Belanda di Asia Tenggara. Para tawanan ini kemudian ditempatkan oleh
Belanda pada suatu kawasan yang bernama Tanah Serani yang kelak bernama Kampung
Tugu. Daerah ini berada di tepi laut, udaranya panas, dan sangat jarang
ditemukan air asin. Kalaupun ada sumur, kebanyakan airnya asin pula.
Pada tahun
1661 para budak di Tanah Serani dibebaskan oleh Belanda dengan syarat mereka
harus berpindah keyakinan dari Katholik yang merupakan agama resmi Bangsa
Portugis ke Protestan yang menjadi agama resmi Bangsa Belanda. [4] Di
kampung baru mereka, para mantan tawanan perang dan budak Portugis ini
menggeluti usaha di bidang pertanian, berburu, dan mencari ikan. Dalam waktu
senggang, mereka sering teringat lagi akan nasib dan kampung halaman nun jauh
di mata. Lantunan musik fado nan
melankolis yang pernah mereka nyanyikan sewaktu di Malaka belumlah hilang dari
ingatan. Mereka masih memiliki kepandaian bermusik, karena musik merupakan
curahan jiwa, bentuk ekspresi diri akan kehidupan yang mereka jalani. Banyak
penyair-nyair zaman lampau maupun zaman sekarang menciptakan musik dengan
mengambil insipirasi dari realitas kehidupan yang mereka jalani.
Maka
mulailah kembali mereka melantunkan musik fado
yang telah menjadi identitas mereka kaum peranakan. Dengan menggunakan alat
sederhana seperti rajao,[5] biola, gitar, rebana,
cello, dua jenis ukulele yakni cak dan cuk, dan seruling. Musik ini rupanya
disenangi oleh banyak orang dan akhirnya berkembang.
Fado,
Moresco, & Cafrinho
Terdapat
suatu keanehan yang kami temui dalam mempelajari sejarah musik Keroncong, yakni
ditemukannya dua jenis seni musik yang sama-sama berasal dari Portugis yang pertama
iala fado, seperti yang kita jelaskan
di atas dimana musik fado merupakan
suatu seni musik yang berasal dari Bangsa Portugis yang memiliki karakteristik
sentimental-melangkolis. Dimana syair-syair dari lagu ini menceritakan mengenai
lautan, kehidupan masyarakat miskin, dan persahabatan. Atau pendek kata
menceritakan mengenai parasaian hidup.
Sedangkan moresco merupakan suatu seni musik yang diiringi tarian, berasal dari Kejayaan
Peradaban Islam di Andalusia.[6] Seni ini
juga terdapat di Portugis, karena beberapa Bangsa Moro berkulit hitam yang
berasal dari Pantai Utara Afrika masih menetap di negara tersebut. Selain moresco juga dikenal morisca yakni salah satu jenis gitar
yang biasa digunakan oleh Bangsa Moor. Yang mana gitar ini berbentuk oval dan
memiliki banyak lubang. Hal ini dikarenakan gitar yang mereka pakai merupakan
perkembangan dari alat musik sittar
yang biasa dipakai oleh Bangsa Arab.
Moresco sendiri
merupakan seni musik yang mengiri tarian anggar
antara hulubalang Muslim dan Kristen. Pada permulaannya, moresco merupakan seni
musik dan tari yang mengisahkan kisah-kisah Perang Salib antara umat Muslim dan
Kristen dalam kebudayaan Bangsa Moor. Moresco adaah seni yang bernafaskan Islam
sedangkan seni non-Islamik disebut dengan Cafrinho yang berasal dari kata kafir yakni non-Islam. Istilah Cafrinho
digunakan untuk menamakan kaum heathen atau kaum creolist Portugis di
Goa-India.
Sedangkan dalam
perkembangan musik keroncong disebutkan bahwa moresco merupakan bentuk awal dari perkembangan musik ini. Hal ini
mungkin saja karena pada rentang waktu 1891-1903 di Surabaya yang merupakan
kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda masa itu berdiri sebuah grup
keroncong yang bernama KOMEDI STAMBOEL. Grup ini merupakan grup pertunjukan bergaya
Istanbul, mereka mengadakan pertunjukan dengan cara berkeliling Hindia Belanda,
Singapura, dan Malaysia. Pada umumnya pertunjukan mereka mengisahkan Hikayat
1001 Malam, Opera Eropa maupun cerita rakyat, serta hikayat-hikayat dari Timur
Tengah, Persia, atapun India. Pada masa inilah dikenal musik keroncong dengan
Stambul I, II, dan III.
Eloklah kiranya
kami sertakan petikan dari tulisan Victor
Genap yang merupakan Staf Pengajar pada Jurusan Musik Fakultas Pertunjukan
ISI Yogyakarta yang dimuat pada situs http://pensa-sb.info/portugis-dan-musik-keroncong/:
Moresco yang bernafaskan
keislaman lazimnya dinyanyikan vokalis perempuan dengan nasal voice, karena diharamkan bagi mereka menyanyi dengan
membuka mulut di hadapan publik. Nasal voice tidak lazim bagi vokalis Portugis,
sehingga mereka menggantikannya dengan suara falsetto yang hanya cocok untuk suara laki-laki namun tidak untuk
suara perempuan. Akibatnya vokalis perempuan terdengar berteriak bukan lagi
bernyanyi, seperti halnya suara para vokalis perempuan dalam menyanyikan lagu
keroncong pada tahun 1920-an di Indonesia. Ternyata kasus yang sama terjadi
juga pada fado Portugis yang berasal dari Moresco, seperti lagu Folgadinho
berikut ini dengan nada tertinggi pada f#2. Namun yang menarik adalah imitasi nasal voice dari vokalis
perempuan Portugis sebagai tuntutan dalam menyanyikan sebuah Moresco
menghasilkan warna yang berbeda dengan para sindhen Jawa, karena lebih
merupakan sebuah jeritan falsetto
dibandingkan dengan vokalis laki-laki yang bebas membuka mulut.
Folgadinho menjadi julukan
bagi seseorang yang suka bermalas-malasan. Khususnya bagi orang Moor di
Portugal yang gemar bekerja, istilah Folgadinho menjadi sebuah sindiran. Syair
lagu Folgadinho bersifat parodial dan
responsorial yang selalu diakhiri
dengan refrain. Sebagai fado
pengiring tarian refrain dinyanyikan tutti
chorus sambil bertepuk tangan, sebagai pengganti waditra adufe atau rebana Arab, yang asalnya adalah bunyi kerincing
gelang kaki si penari Moor di istana Portugal pada abad ke-12, seperti halnya
penari Katakali dari India, atau
penari Ngremo gaya Jawa Timuran.
Pertumbuhan
Musik Keroncong
Semenjak awal lahirnya
di Indonesia yakni pada tahun 1661 musik ini terus mengalami perubahan. Namun
sayangnya tidak terdapat sumber yang menggambarkan perkembangan musik keroncong
dari masa 1661-1880. 1880 dijadikan patokan dalam perkembangan musik keroncong
selanjutnya karena pada tahun ini ditemukan alat musik petik sejenis Ukulele
khas Hawai yang sangat berperan besar dalam pertumbuhan musik keroncong di
Indonesia. Ukulele sendiri sudah lama dikenal oleh Bangsa Portugis yang oleh
mereka disebut dengan nama Jukulele atau croucho yang berarti kecil. Hal ini
karena ukulele merupakan sejenis gitar dengan ukuran kecil dengan jumlah senar
empat atau tiga.
Ukulele dari Hawai ini
kemudian dikawinkan dengan Ukulelle dari Braguinha[7] sehingga
menjadi alat musik khas bagi keroncong di Indonesia. Selain itu dalam
pertumbuhan musik ini dipakailah beberapa instrumen tradisional seperti gamelan
dan gong yang merupakan alat musik tradisional dari Jawa.
Asal Mula Nama “Keroncong”
Ada kesepakatan diantara para ahli bahwa nama keroncong berasal dari alat
musik ukulele yang memiliki bunyi khas “crong..crong..”. Sehingga terkenallah
musik ini dengan nama “Keroncong”. Walau berasal dari bunyi salah satu alat
musik yang dipakai dalam kesenian ini, namun hal tersebut tidak mengurangi
maknanya. Keroncong ialah sebuah seni musik yang berasal dari perpaduan beragam
alat musik yang dimainkan bersama.
Alat-alat musik yang dipakai dalam keroncong ialah: ukulele, gitar, biola,
seruling, gendang, gamelan, gong, dan beberapa alat musik lainnya. Pada masa
sekarang keroncong juga diiringi dengan menggunakan alat musik organ tunggal.
Perkembangan Musik Keroncong
Semenjak
awal fado ataupun moresco merupakan seni musik dan tari
dari Portugis yang berkembang di Malaka telah mengalami berbagai penyesuaian. Semenjak
mulai digemari oleh para budak asal Benggali, Malabar, Goa, dan Maluku hingga
kepindahan mereka ke Batavia. Dalam perkembangannya keluar dari wilayah Kampung
Tugu, musik ini mulai berakulturasi dengan budaya lokal. Seperti dipakainya tanjidor yang merupakan alat musik khas
Betawi. Kemudian musik ini juga berkembang ke daerah Jawa seperti Solo yang
juga melakukan adaptasi berupa irama yang lebih lambat khas Jawa.
Tidak
hanya menyebar di Indonesia, keroncong juga menyebar hingga ke Malaysia yang
dibawa oleh para pekerja asal Jawa. Perkembangan musik ini terasa sekali di
daerah Johor, Selangor, dan Perak[8]
yang juga diminati oleh kaum Baba dan Nyonya.
Menarik
melihat perkembangan musik keroncong di Malaysia karena dalam masa 1918-1919
terdapat seorang pianis Orkes Studio NIROM (Nedherlandsch
Indische Radio Omroep Maatschappij) Surabaya yang bernama S.M.Mochtar menggubah lagu “Pulau Brandan”. Cengkok[9]
Keroncong gubahan pianis urang awak
ini sangat berpengaruh dalam perkembangan Cangkok Melayu di Malaysia. Selain di
Jawa dan Malaysia, keroncong juga menyebar ke Sulawesi Selatan, tepatnya
Makassar. Di Makassar lahirlah salah satu corak lagu keroncong yang dikenal
dengan nama “Musiq Losquin Bugis”
Keroncong
Sawahlunto
Bagaimana kiranya
perkembangan musik Keroncong di Kota Sawahlunto? Hingga kini masih dilakukan
penelitian lebih mendalam mengenai hal ini. Namun yang pasti ialah keroncong di
Sawahlunto dikembangkan oleh orang-orang Jawa. Orang-orang Jawa dibawa ke kota
ini oleh Belanda guna dipekerjakan sebagai buruh tambang. Pada mulanya mereka
yang berstatus sebagai tahanan atau lazim dikenal dengan sebutan orang rantai di Sawahlunto. Hidup mereka
ialah di barak-barak, terisolasi dari dunia luar, dan tidak ada hubungan
komunikasi apapun. Namun yang terparah ialah tidak ada perempuan yang dapat
dijadikan isteri.
Kedatangan awal mereka
ialah tahun 1891, dipekerjakan sebagai buruh paksa di pertambangan pertama di
daerah Sungai Durian. Pada masa itu hidup mereka masih sengsara, bekerja siang
dan malam, dibagi sampai tiga shift.
Keadaan mereka mulai sedikit berubah dengan dibangunnya jalan kereta api dan
dipekerjakannya buruh kontrak di pertambangan serta dibangunnya Dapur Umum yang
menjamin suplay makanan untuk mereka. Mulai ada kehidupan, sudah ada yang
membina keluarga, lingkungan tempat tinggal mereka dikenal dengan nama wilayah tangsi atau “penjara” dalam bahasa
Indonesia.
Lalu kapan musik ini
mulai berkembang di Sawahlunto? Belum didapat tahun pastinya hanya saja dapat
diperkirakan pada permulaan abad ke-20 musik keroncong sudah ada di Sawahlunto.
Generasi termuda keroncong yang masih hidup hingga kini ialah berumur sekitar
50 dan 60 tahunan. Menurut kesaksian mereka bahwa musik keroncong sudah
dimainkan di Sawahlunto semenjak zaman mbah
mereka dahulu.
Mungkin banyak yang
heran bagaimana para narapidana ini dapat membawa suatu kesenian yang begitu
tinggi nilainya. Hal ini tentunya mengingat para tahanan yang didatangkan ke
Sawahlunto merupakan para tahanan atau kriminal. Apabila kita telusuri kembali
penyebaran dari musik ini di Pulau Jawa bahkan hingga ke Makassar dan Malaysia,
maka tidaklah mengherankan jika musik ini juga sampai ke Sawahlunto.
Para tahanan yang
dibawa ke Sawahlunto tidak semuanya para pelaku tindak kejahatan serupa
pembunuhan, perampokan, ataupun berbagai jenis tindak kriminal lainnya. Akan
tetapi juga terdapat para tahanan politik. Mungkin saja diantara para tahanan
tersebut apakah tahanan kriminal ataupun tahanan politik terdapat orang-orang
yang pandai bermain musik keroncong. Hal ini karena mengingat bahwa Batavia
merupakan kota terbesar di Hindia Belanda pada masa itu. dimana kehidupan seni
berkembang di sana.
Jadi tidaklah
mengherankan kenapa Keroncong dapat sampai ke Tanah Bertuah ini. Pada masa
sekarang ini, seni musik keroncong masih terus digali untuk kembali
dipertunjukkan ke khalayak ramai. Ini merupakan salah satu bukti dari kekayaan
budaya Kota Sawahlunto. Kekayaan multi etnis dengan beragam kekhasannya.
Penutup
Tidak dapat dipungkiri
dengan menyimak sejarah kelahiran musik keroncong di Indonesia tidak terlepas
dari pengaruh Peradaban Islam di Sepanyol. Dua tradisi yang kami kemukakan
dalam tulisan ini yakni Fado & Moresco merupakan
suatu seni musik dan tari yang akar budayanya dapat kita telusuri pada
Peradaban Islam yang pernah berjaya di Semenanjung Iberia di Eropa Barat. Hal ini tentunya juga secara
tidak langsung memberikan pengaruh pada
seni musik keroncong di Indonesia.
Bagaimanpun juga
uraian singkat kami perihal sejarah musik keroncong dalam tulisan ini masih
jauh dari lengkap ataupun sempurna. Apalagi jika membahas sejarah kelahiran
dari musik ini masih selalu dalam perdebatan. Salah seorang penghulu musisi
keroncong yakni Tuan Andre Juan Michiels (peimpin Grup Keroncong Tugu) masih
kurang sependapat jika dikatakan kalau musik keroncong dikatakan berasal dari
budaya Portugis yakni Fado. Namun daripada
itu, kami menganggap karena masih belum adanya sumber yang membahas secara
lengkap mengenai dalil yang dikemukakan oleh Tuan Andre dan kawan-kawan, untuk
sementara kami berpendapat seperti yang kami uraikan dalam tulisan ini.
Semoga tulisan ini
dapat menambah wawasan dan memperkaya pengetahuan serta menumbuhkan rasa cinta
kita terhadap budaya kita yang kaya akan keragaman. Tulisan ini masih jauh dari
sempurna, terdapat beberapa kekurangan yang Insya
Allah akan kami perbaiki pada tulisan berikutnya.
Sumber:
Melayuonline.com
Teraszaman.blogspot.com
[1] Dalam setiap literatur mengenai musik keroncong selalu
menyebutkan bahwa pada tahun 1512 ini musik keroncong telah masuk ke Indonesia
melalui pelaut-pelaut Portugis.
[2] Moor,
merupakan sebutan yang disandangkan kepada Umat Islam oleh orang Sepanyol,
Portugis & Eropa di Abad Pertengahan. Sebutan ini tidak mengenal bangsa,
setiap muslim dari berbagai bangsa di panggil dengan sebutan ini. Adalah
orang-orang Melayu di Pulau Mindanao yang pada masa sekarang ini berada di
bawah Pemerintahan Filipina. Oleh orang Sepanyol mereka dipanggil dengan panggilan
“Bangsa Moor” karena beragama Islam. padahal sebenarnya mereka ini ialah Bangsa
Melayu. Sebutan Moor di Filipina kemudian mulai berubah menjadi Moro, dan dengan nama itulah mereka
dikenali hingga kini.
[3] Semenanjung Iberia merupakan sebutan untuk daerah yang
melingkupi negara Sepanyol dan Portugis sekarang yang dalam Peradaban Islam
dikenal dengan nama Andalusia. Kekuasaan Umat Muslim (Bangsa Moor) dimulai
dengan penaklukan yang dilakukan oleh Panglima Tarikh bin Ziyad. Kekuasaan umat
muslim bertahan semenjak 711 sampai kepada tahun 1492. Orang-orang Kristen
menyebut ini dengan sebutan penjajahan
sedangkan umat muslim menyebutnya dengan penyelamatan. Hal ini karena kedatangan
umat Muslim yang dikomandani Panglima Tarikh bin Ziyad ke Andalusia ketika itu
karena di sana sedang berdiri Kerajaan Kartago yang terkenal kejam terhadap
rakyatnya. Maka dari itu kedatangan umat Muslim ke sana disambut baik oleh
rakyat Andalusia. Selama di Andalusia umat muslim sama sekali tidak pernah
melakukan eksploitasi, diskriminasi, atau beragam bentuk penindasan lainnya.
Bahkan mereka membangun peradaban yang terbilang sangat maju di sana. Sangat
berbeda dengan penjajahan yang dilakukan oleh Bangsa Barat di Timur dimana
kekayaan dari negeri yang ditaklukan dibawa sepenuhnya ke Negara Induk
sedangkan rakyat di negeri jajahan dibiarkan hidup sengsara.
[5] Rajao
merupakan alat musik petik mirip gitar, memiliki lima dawai.
[6] Moresco menjadi hiburan bagi kalangan elit di Portugal.
Dipertunjukkan diistana-istana dan dihadapan para pembesar kerajaan.
[7] Alat musik ukulele ini dibawa oleh pelaut Portugis dalam
penjelajahan mereka menemukan dunia baru. Di Portugis namanya ialah cavaquinho. Alat musik ini disebut
dengan beragam nama seperti di Madeira disebut Braguinha, di Brasil disebut
dengan machete, di Karibia disebut
dengan cuatro, dan di Hawai disebut
dengan ukulele. Dalam istilah Hawai,
ukulele memiliki arti “jari yang melompat”. Tentunya pada masing-masing tempat
berkembang menurut keadaan daerah setempat. Baca lebih lanjut: http://pensa-sb.info/portugis-dan-musik-keroncong/
[8] Hal ini karena di daerah-daerah inilah banyak terdapat
komunitas orang Jawa.
2 Responses So Far:
Music keroncong memang tak lekang sepanjang zaman, sampai deyik ini saya masih enjoy dengerin musik jenis ini, salm sukses selalu sob
terima kasih atas kunjungannya sob, mari wacanakan musik keroncong sebagai warisan dunia
Posting Komentar