TALEMPONG BATUANG
Instrument Talempong Batuang |
Talempong adalah salah satu alat musik khas Minangkabau yang telah
menjadi salah satu kekayaan budaya nasional. Selama ini jika mendengar kata
talempong maka yang terlintas dibenak kita ialah alat musik pukul harmonik yang
terbuat dari logam kuningan. Namun tidak
banyak yang mengetahui bahwa di Minangkabau juga pernah dikenal alat musik yang
bernama “Calempong Botuang” atau Talempong Batuang. Alat musik ini memang kalah
populer dari alat musik Talempong Basi karena alat musik tersebut lebih dikenal
dan dipakai secara meluas di Minangkabau.
Pemukul/panggua talempong batuang |
Talempong batuang, atau oleh masyarakat setempat disebut
dengan “Calempong Botuang” merupakan alat
musik yang terbuat dari botuang (dalam
bahasa Minangkabau umum: batuang)
atau dalam Bahasa Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “Bambu”. Jenis alat
musik ini dikenal di salah satu nagari di Minangkabau yakni di Nagari Silungkang
yang sekarang merupakan bagian dari wilayah administratif Kota Sawahlunto,
Propinsi Sumatera barat. Jadi tidak berlebihanlah kalau dikatakan alat musik
Talempong Batuang berasal dari Silungkang. Karena hingga saat ini alat musik
jenis ini hanya ditemukan di Nagari Silungkang Kota Sawahlunto.
Pada saat ini di Silungkang hanya terdapat satu keluarga yang
mengusai pembuatan dan permainan Talempong Batuang. Mereka ialah Pak Umar dan
keluarganya, beliau telah berusia 70 tahunan dan hingga kini masih kuat
berkebun di lereng bukit di Desa Silungkang Oso, Kecamatan Silungkang, Kota
Sawahlunto. Pak Umar yang boleh dikatakan sebagai pewaris satu-satunya jenis
kesenian ini berasal dari generasi yang lahir di awal abad ke-20. Beliau
mewarisi kepandaian membuat dan memainkan Talempong Batuang dari ibundanya. Menurut
beliau kaum ibu lebih menguasai alat musik Talempong Batuang karena pada masa dahulu,
alat musik ini merupakan permainan yang populer dikalangan anak gadis.
Sembilu penghasil bunyi |
Talempong Batuang dimainkan oleh masyarakat diwaktu senggang,
sedang beristirahat di balai-balai, atau sekedar berehat dari rutinitas
sehari-hari sebagai petani di dangau yang terletak di pinggir sawah dan ladang.
Alunan Talempong Batuang diiringi dengan syair yang mengisahkan mengenai
kepahitan hidup, cinta kasih yang terpendam, dan lain sebagainya.
Berbicara mengenai Talempong Batuang tidak terlepas dari
tradisi marunguih yang juga merupakan
salah satu tradisi khas di Silungkang. Marunguih atau Ratok Silungkang Tuo
merupakan tradisi yang pada masa dahulu menjadi media penyampaian pesan atau
sekedar mengenang nasib bagi masyarakat setempat. Namun pada mulanya tradisi marunguih bukanlah sekedar media
penyampai pesan mengenai untung perasaian nasib di kampung atau dirantau.
Melainkan memiliki keterkaitan dengan cerita rakyat yang sudah sangat melegenda
di seluruh Alam Minangkabau yakni Inyiak atau Legenda Harimau Jadi-jadian.
Marunguih
Keberadaan Inyiak atau harimau sakti diakui keberadaannya di
seluruh Alam Minangkabau, kisah Inyiak ini memiliki ragam tersendiri di setiap
Nagari di Minangkabau. Khusus untuk Nagari Silungkang, Inyiak berasal dari
cerita legenda rakyat yang konon merupakan reinkarnasi manusia yang telah
meninggal. Dikisahkan orang yang masa hidupnya dihabiskan dalam perbuatan
maksiat meninggal dunia, di alam kubur dia disiksa oleh malaikat atas perbuatannya
semasa hidup. Karena tidak sanggup menahan siksa kubur, Si Mayat memohon agar
dikembalikan ke dunia dan berjanji akan berbuat baik. Permohonannya dikabulakan
oleh Tuhan dan dia dikembalikan ke dunia, namun sayang tidak dalam wujud yang
utuh sebagai manusia namun sebagai Harimau jadi-jadian. Harimua ini yang dikalangan
rakyat lebih dikenal dengan sebutan “Inyiak”[1]. Di satu
sisi Inyiak memiliki naluri manusia dan disisi lainnya memiliki naluri
binatang.
Beberapa orang penduduk yang pernah menguliti harimau
mengatakan kalau bentuk jari ke empat kaki harimau memiliki bentuk yang serupa
dengan jari-jari yang dimiliki manusia. Hanya saja jari-jari milik harimau ini
bengkok seperti menggenggam ditambah dengan ditumbuhi bulu sehingga menyamarkan
bentuk jari aslinya. Inyiak juga memiliki keahlian lain yang tidak dimiliki
oleh binatang sejenis yakni “Silat Harimau”[2] yang
konon kabarnya sangat hebat. Inyiak juga mengerti bahasa manusia, namun
sayangnya mereka tidak dapat melakukan komunikasi langsung dengan manusia.
Untuk melakukan komunikasi dengan manusia, Inyiak memiliki cara tersendiri,
seperti mematahkan ranting atau mengeluarkan suara-suara guna memberi petunjuk
jalan apabila ada penduduk yang tersesat di hutan.
Apabila sisi kebinatangannya muncul, Inyiak menjadi tak
terkendali, binatang ternak milik penduduk menjadi sasaran. Hal ini tentu
meresahkan bagi penduduk, dan atas kesepakatan bersama dilakukanlah perburuan
terhadap Inyiak dengan landasan hukum “Kalau
salah batimbang, kalau utang dibaia”. Maksudnya ialah setiap keselahan atas
perilaku menyimpang dalam masyarakat yang berakibat merugikan masyarakat itu
sendiri haruslah dihukum sesuai dengan hukum yang dianut oleh masyarakat
tersebut. Begitulah aturan adat di Minangkabau, setiap nagari diberi wewenang
menegakkan hukumnya sendiri tanpa adanya ikatan yang kuat dengan Pagaruyuang,
sebagai pusat dari Alam Minangkabau.
Berburu Inyiak dilakukan oleh penduduk dengan memasang
perangkap dan menggunakan senjata bedil. Apabila Inyaik telah masuk perangkap,
kemudian ditembak oleh penduduk. Sebelum ditembak Inyiak ditanyai dulu oleh
penduduk;
“Jawi Si Anu,… Si Anu….?” Sambil menyebutkan nama pemilik
ternak yang menjadi korban. Inyiak akan memberi tanda dengan mendengus jika benar dia pelakunya, sedangkan
jika diam berarti tidak.
Setelah mendapat tanda dari Inyiak kemudian Si Penembak akan
berujar;
“Nyiak,… kalau salah yo ditimbang, kalau hutang yo ba baia ko
nyiak haa…” kemudian Inyiak ditembak. Setelah ditembak, Inyiak di arak ke
keramaian dengan diiringi oleh kesenian calempong,
baik itu Calempong Basi atau Botuang. Setibanya di keramaian, mayat Inyiak di
pertontonkan kehadapan khalayak ramai. Tidak hanya sekedar dipertontonkan
melainkan juga diratapi yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan tradisi marunguih. Marunguih ialah meratap,
maksudnya ialah meratapi Inyiak yang telah tewas dibunuh oleh penduduk setempat.
Gunanya ialah untuk menghindari penduduk dari bala yang mungkin saja terjadi
selepas kematian Inyiak. Bala yang dimaksud ialah tindakan balasan yang akan
dilakukan oleh kawanan harimau lainnya yang mungkin saja menaruh dendam atas
kematian kawannya. Oleh karena itu marunguih dilakukan oleh penduduk, yang
disebut dalam ratapan penduduk dalam marunguih tidak hanya kesalahan yang telah
diperbuat hingga menyebabkan ia terbunuh ditangan penduduk akan tetapi juga
kebaikan selama hidupnya.
Marunguih dilakukan
oleh kaum laki-laki yang tubuhnya diselimuti dengan kainsarung. Gunanya ialah
sebagai tabir, agar orang yang marunguih tidak dikenali oleh penduduk. Hal ini
untuk menghindari rasa malu dan segan terhadap orang semenda,[3] anak,
kemenakan,[4] atau
kenalan dari orang yang Marunguih tersebut. Syair yang didendangkan dalam
marunguih berkisar seputar kesalahan yang dilakukan oleh Inyiak hingga dia
ditembak mati oleh penduduk. Namun tidak hanya kesalahan, kebaikan-kebaikan
yang pernah diperbuatnyapun ikut didendangkan.
Sangat sedikit sekali jejak yang berhasil kami tempuh untuk
menyelidiki mengenai kesenian Talempong Batuang ini. Hal ini karena
satu-satunya narasumber kami ialah Pak Umar yang telah berusia lanjut. Halangan
usia menjadi salah satu penghambat bagi kami karena kami mengalami kesulitan
untuk menggali lebih dalam, serta memfokuskan narasumber terhadap pertanyaan
yang kami ajukan.
Talempong Batuang terbuat dari bambu yang sudah tua, memiliki
panjang kira-kira 60 cm atau hanya satu
ruas bambu yang diambil untuk dijadikan talempong. Setelah ditebang,
bambu ini dibiarkan terletak selama 15 hari, hal ini bermaksud supaya bambu
lebih kering. Kemudian ruas bambu tersebut dibentuk dengan membuat sayatan
sepanjang ruas bambu dengan lebar sekitar 0,5 cm.[5] Sayatan
ini dibuat sebanyak 5 sayatan, dengan
jarak masing-masing sayatan sekitar 1,5 cm. namun Pak Umar telah
memodifikasinya dengan menambah satu sayatan lagi sehingga berjumlah menjadi 6
sayatan. Tiap sayatan diberi dua buah pasak yang digunakan sebagai pengatur
nada.
Generasi muda pada masa dahulu tidak mengenal beragam jenis
“nada” yang terdapat dalam suatu alat musik, melainkan mereka hanya menggunakan
perasaan apakah suatu nada cocok atau tidak dengan yang lainnya. Begitu juga
dengan Talempong Batuang juga tidak dikenal kunci-kunci tertentu. Melainkan
hanya dengan pendengaran dan merasakan suatu bunyi, apakah dia pas atau tidak.
Jadi apabila ditanya beliau memakai “kunci” apa, maka beliau tidak akan dapat menjawabnya.
Pada masa dahulu di Nagari Silungkang, Talempong Batuang
merupakan kesenian rakyat yang banyak dimainkan anak bujang dan gadis.
Permainan ini sering dimainkan untuk menghabiskan waktu luang, terutama oleh
anak gadis. Dimainkan berkelompok diiringi oleh anak bujang yang asyik berlatih
Pencak Silat. Baik itu ketika habis memanen padi di sawah ataupun dikesempatan
lain.
Pak Umar Malin Parmato, pewaris kesenian talempong batuang |
Observasi Lapangan Tim Seni Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Sawahlunto Program Pengembangan Seni Budaya Daerah pada tanggal 30 April 2011, di Dusun Sungai Cocang Desa Silungkang Oso Kecamatan Silungkang Kota Sawahlunto.
Tim Observasi :
1. Syukri, S.Sn
2. Fachri, S.s
5. Vidal Aulia Rahman, A.md
[1] Inyiak secara harfiah berarti “kakek”. Di Alam Minangkabau, seorang datuk dalam keseharian juga dipanggil dengan sebutan Inyiak. Hal ini wajar karena Datuk dan Inyiak memiliki arti yang sama ialah Kakek, hanya saja penggunaannya saja yang berbeda.
[2] Yonni
Saputra, SS & Dedi Yolson, SS. MARUNGUIH: RATOK SILUNGKANG TUO.
Lap.Penelitian Dinas Pariwisata & Kebudayaan.
[3] Semenda
atau Sumando, merupakan istilah dalam Adat Minangkabau yang merujuk kepada
saudara laki-laki dari Istri.
[4]
Kemenakan atau Kamanakan, tidak sama dengan Keponakan. Kamanakan dalam istilah
Adat Minangakabau merujuk kepada anak dari saudara perempuan. Sedangkan anak
dari saudara laki-laki dalam Adat dianggap anak juga.
[5] Sayatan
bambu ini dikenal dalam masyarakat Minangkabau dengan sebutan “Sambilu” atau Sembilu yang terkenal sangat tajam.
0 Responses So Far:
Posting Komentar