Kamis, 01 Maret 2012

Talempong Batuang Kesenian Khas Silungkang


TALEMPONG BATUANG

Instrument Talempong Batuang
Talempong adalah salah satu alat musik khas Minangkabau yang telah menjadi salah satu kekayaan budaya nasional. Selama ini jika mendengar kata talempong maka yang terlintas dibenak kita ialah alat musik pukul harmonik yang terbuat dari logam kuningan.  Namun tidak banyak yang mengetahui bahwa di Minangkabau juga pernah dikenal alat musik yang bernama “Calempong Botuang” atau Talempong Batuang. Alat musik ini memang kalah populer dari alat musik Talempong Basi karena alat musik tersebut lebih dikenal dan dipakai secara meluas di Minangkabau.
Pemukul/panggua talempong batuang
Talempong batuang, atau oleh masyarakat setempat disebut dengan  “Calempong Botuang” merupakan alat musik yang terbuat dari botuang (dalam bahasa Minangkabau umum: batuang) atau dalam Bahasa Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “Bambu”. Jenis alat musik ini dikenal di salah satu nagari di Minangkabau yakni di Nagari Silungkang yang sekarang merupakan bagian dari wilayah administratif Kota Sawahlunto, Propinsi Sumatera barat. Jadi tidak berlebihanlah kalau dikatakan alat musik Talempong Batuang berasal dari Silungkang. Karena hingga saat ini alat musik jenis ini hanya ditemukan di Nagari Silungkang Kota Sawahlunto.
Pada saat ini di Silungkang hanya terdapat satu keluarga yang mengusai pembuatan dan permainan Talempong Batuang. Mereka ialah Pak Umar dan keluarganya, beliau telah berusia 70 tahunan dan hingga kini masih kuat berkebun di lereng bukit di Desa Silungkang Oso, Kecamatan Silungkang, Kota Sawahlunto. Pak Umar yang boleh dikatakan sebagai pewaris satu-satunya jenis kesenian ini berasal dari generasi yang lahir di awal abad ke-20. Beliau mewarisi kepandaian membuat dan memainkan Talempong Batuang dari ibundanya. Menurut beliau kaum ibu lebih menguasai alat musik Talempong Batuang karena pada masa dahulu, alat musik ini merupakan permainan yang populer dikalangan anak gadis.
Sembilu penghasil bunyi
Talempong Batuang dimainkan oleh masyarakat diwaktu senggang, sedang beristirahat di balai-balai, atau sekedar berehat dari rutinitas sehari-hari sebagai petani di dangau yang terletak di pinggir sawah dan ladang. Alunan Talempong Batuang diiringi dengan syair yang mengisahkan mengenai kepahitan hidup, cinta kasih yang terpendam, dan lain sebagainya.
Berbicara mengenai Talempong Batuang tidak terlepas dari tradisi marunguih yang juga merupakan salah satu tradisi khas di Silungkang. Marunguih atau Ratok Silungkang Tuo merupakan tradisi yang pada masa dahulu menjadi media penyampaian pesan atau sekedar mengenang nasib bagi masyarakat setempat. Namun pada mulanya tradisi marunguih bukanlah sekedar media penyampai pesan mengenai untung perasaian nasib di kampung atau dirantau. Melainkan memiliki keterkaitan dengan cerita rakyat yang sudah sangat melegenda di seluruh Alam Minangkabau yakni Inyiak atau Legenda Harimau Jadi-jadian.
Marunguih
Keberadaan Inyiak atau harimau sakti diakui keberadaannya di seluruh Alam Minangkabau, kisah Inyiak ini memiliki ragam tersendiri di setiap Nagari di Minangkabau. Khusus untuk Nagari Silungkang, Inyiak berasal dari cerita legenda rakyat yang konon merupakan reinkarnasi manusia yang telah meninggal. Dikisahkan orang yang masa hidupnya dihabiskan dalam perbuatan maksiat meninggal dunia, di alam kubur dia disiksa oleh malaikat atas perbuatannya semasa hidup. Karena tidak sanggup menahan siksa kubur, Si Mayat memohon agar dikembalikan ke dunia dan berjanji akan berbuat baik. Permohonannya dikabulakan oleh Tuhan dan dia dikembalikan ke dunia, namun sayang tidak dalam wujud yang utuh sebagai manusia namun sebagai Harimau jadi-jadian. Harimua ini yang dikalangan rakyat lebih dikenal dengan sebutan “Inyiak”[1]. Di satu sisi Inyiak memiliki naluri manusia dan disisi lainnya memiliki naluri binatang.
Beberapa orang penduduk yang pernah menguliti harimau mengatakan kalau bentuk jari ke empat kaki harimau memiliki bentuk yang serupa dengan jari-jari yang dimiliki manusia. Hanya saja jari-jari milik harimau ini bengkok seperti menggenggam ditambah dengan ditumbuhi bulu sehingga menyamarkan bentuk jari aslinya. Inyiak juga memiliki keahlian lain yang tidak dimiliki oleh binatang sejenis yakni “Silat Harimau”[2] yang konon kabarnya sangat hebat. Inyiak juga mengerti bahasa manusia, namun sayangnya mereka tidak dapat melakukan komunikasi langsung dengan manusia. Untuk melakukan komunikasi dengan manusia, Inyiak memiliki cara tersendiri, seperti mematahkan ranting atau mengeluarkan suara-suara guna memberi petunjuk jalan apabila ada penduduk yang tersesat di hutan.
Apabila sisi kebinatangannya muncul, Inyiak menjadi tak terkendali, binatang ternak milik penduduk menjadi sasaran. Hal ini tentu meresahkan bagi penduduk, dan atas kesepakatan bersama dilakukanlah perburuan terhadap Inyiak dengan landasan hukum “Kalau salah batimbang, kalau utang dibaia”. Maksudnya ialah setiap keselahan atas perilaku menyimpang dalam masyarakat yang berakibat merugikan masyarakat itu sendiri haruslah dihukum sesuai dengan hukum yang dianut oleh masyarakat tersebut. Begitulah aturan adat di Minangkabau, setiap nagari diberi wewenang menegakkan hukumnya sendiri tanpa adanya ikatan yang kuat dengan Pagaruyuang, sebagai pusat dari Alam Minangkabau.
Berburu Inyiak dilakukan oleh penduduk dengan memasang perangkap dan menggunakan senjata bedil. Apabila Inyaik telah masuk perangkap, kemudian ditembak oleh penduduk. Sebelum ditembak Inyiak ditanyai dulu oleh penduduk;
“Jawi Si Anu,… Si Anu….?” Sambil menyebutkan nama pemilik ternak yang menjadi korban. Inyiak akan memberi tanda dengan  mendengus jika benar dia pelakunya, sedangkan jika diam berarti tidak.
Setelah mendapat tanda dari Inyiak kemudian Si Penembak akan berujar;
“Nyiak,… kalau salah yo ditimbang, kalau hutang yo ba baia ko nyiak haa…” kemudian Inyiak ditembak. Setelah ditembak, Inyiak di arak ke keramaian dengan diiringi oleh kesenian calempong, baik itu Calempong Basi atau Botuang. Setibanya di keramaian, mayat Inyiak di pertontonkan kehadapan khalayak ramai. Tidak hanya sekedar dipertontonkan melainkan juga diratapi yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan tradisi marunguih. Marunguih ialah meratap, maksudnya ialah meratapi Inyiak yang telah tewas dibunuh oleh penduduk setempat. Gunanya ialah untuk menghindari penduduk dari bala yang mungkin saja terjadi selepas kematian Inyiak. Bala yang dimaksud ialah tindakan balasan yang akan dilakukan oleh kawanan harimau lainnya yang mungkin saja menaruh dendam atas kematian kawannya. Oleh karena itu marunguih dilakukan oleh penduduk, yang disebut dalam ratapan penduduk dalam marunguih tidak hanya kesalahan yang telah diperbuat hingga menyebabkan ia terbunuh ditangan penduduk akan tetapi juga kebaikan selama hidupnya.
 Marunguih dilakukan oleh kaum laki-laki yang tubuhnya diselimuti dengan kainsarung. Gunanya ialah sebagai tabir, agar orang yang marunguih tidak dikenali oleh penduduk. Hal ini untuk menghindari rasa malu dan segan terhadap orang semenda,[3] anak, kemenakan,[4] atau kenalan dari orang yang Marunguih tersebut. Syair yang didendangkan dalam marunguih berkisar seputar kesalahan yang dilakukan oleh Inyiak hingga dia ditembak mati oleh penduduk. Namun tidak hanya kesalahan, kebaikan-kebaikan yang pernah diperbuatnyapun ikut didendangkan.

Sangat sedikit sekali jejak yang berhasil kami tempuh untuk menyelidiki mengenai kesenian Talempong Batuang ini. Hal ini karena satu-satunya narasumber kami ialah Pak Umar yang telah berusia lanjut. Halangan usia menjadi salah satu penghambat bagi kami karena kami mengalami kesulitan untuk menggali lebih dalam, serta memfokuskan narasumber terhadap pertanyaan yang kami ajukan.
Talempong Batuang terbuat dari bambu yang sudah tua, memiliki panjang kira-kira 60 cm atau hanya satu  ruas bambu yang diambil untuk dijadikan talempong. Setelah ditebang, bambu ini dibiarkan terletak selama 15 hari, hal ini bermaksud supaya bambu lebih kering. Kemudian ruas bambu tersebut dibentuk dengan membuat sayatan sepanjang ruas bambu dengan lebar sekitar 0,5 cm.[5] Sayatan ini dibuat sebanyak 5  sayatan, dengan jarak masing-masing sayatan sekitar 1,5 cm. namun Pak Umar telah memodifikasinya dengan menambah satu sayatan lagi sehingga berjumlah menjadi 6 sayatan. Tiap sayatan diberi dua buah pasak yang digunakan sebagai pengatur nada.
Generasi muda pada masa dahulu tidak mengenal beragam jenis “nada” yang terdapat dalam suatu alat musik, melainkan mereka hanya menggunakan perasaan apakah suatu nada cocok atau tidak dengan yang lainnya. Begitu juga dengan Talempong Batuang juga tidak dikenal kunci-kunci tertentu. Melainkan hanya dengan pendengaran dan merasakan suatu bunyi, apakah dia pas atau tidak. Jadi apabila ditanya beliau memakai “kunci” apa, maka beliau tidak akan dapat menjawabnya.
Pada masa dahulu di Nagari Silungkang, Talempong Batuang merupakan kesenian rakyat yang banyak dimainkan anak bujang dan gadis. Permainan ini sering dimainkan untuk menghabiskan waktu luang, terutama oleh anak gadis. Dimainkan berkelompok diiringi oleh anak bujang yang asyik berlatih Pencak Silat. Baik itu ketika habis memanen padi di sawah ataupun dikesempatan lain.
Pak Umar Malin Parmato, pewaris kesenian talempong batuang


Observasi Lapangan Tim Seni Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Sawahlunto Program Pengembangan Seni Budaya Daerah pada tanggal 30 April 2011, di Dusun Sungai Cocang Desa Silungkang Oso Kecamatan Silungkang Kota Sawahlunto.
Tim Observasi :
5. Vidal Aulia Rahman, A.md
 

[1] Inyiak secara harfiah berarti “kakek”. Di Alam Minangkabau, seorang datuk dalam keseharian juga dipanggil dengan sebutan Inyiak. Hal ini wajar karena Datuk dan Inyiak memiliki arti yang sama ialah Kakek, hanya saja penggunaannya saja yang berbeda.

[2] Yonni Saputra, SS & Dedi Yolson, SS. MARUNGUIH: RATOK SILUNGKANG TUO. Lap.Penelitian Dinas Pariwisata & Kebudayaan. 
[3] Semenda atau Sumando, merupakan istilah dalam Adat Minangkabau yang merujuk kepada saudara laki-laki dari Istri.

[4] Kemenakan atau Kamanakan, tidak sama dengan Keponakan. Kamanakan dalam istilah Adat Minangakabau merujuk kepada anak dari saudara perempuan. Sedangkan anak dari saudara laki-laki dalam Adat dianggap anak juga.
[5] Sayatan bambu ini dikenal dalam masyarakat Minangkabau dengan sebutan “Sambilu”  atau Sembilu yang terkenal sangat tajam.


Syukri, S.SnPosted By Syukri

Terima Kasih telah membaca artikel yang saya tulis ini tentunya masih banyak kekurangan dengan. Sehingga saya akan sangat senang dan berterima kasih dengan saran, pertanyaan maupun kritik yang membangun. Silahkan Tinggalkan Komentar... contact me

Thank You


0 Responses So Far:

Posting Komentar

Radio Cimbuak.net